Cerita Selebriti - Mereka Bilang Aku, Cantik! - Cerita 69
Search

Cerita Selebriti - Mereka Bilang Aku, Cantik!

https://selebriti.cerita.site

“Cantik! Kamu memang beneran cantik, lihatlah bibirmu yang merah merekah itu, sorot matamu yang sayu menggoda, dan dadamu yang sintal itu, aku iri padamu, cantik!”

Aku memandang wajahku di depan cermin. Memang benar apa yang dikatakan Sri tadi siang. Aku cantik, bibirku merah menggoda, mataku indah dan tubuhku sempurna. Aku remaja delapan belas tahun yang sangat beruntung dianugerahi segala keindahan ini.

***

“Cantik, mau berangkat sekolah, ya? Yuk abang anter,” goda bang Aji, tukang ojek yang biasa mangkal di ujung gang.

“Cantik, udah punya pacar belum?” celoteh usil dari mulut bang Rizal disambut gelak tawa teman-temannya.

Aku hanya bisa tersenyum semanis mungkin untuk menghormati mereka. Aku tak mau meladeni ucapan-ucapan usil mereka. Itu sudah menjadi hal yang biasa untukku. Bang Aji dan geng-nya memang seperti tak pernah bosan untuk menggodaku setiap pagi.

“Cantikk.. suit-suit.. hari ini kamu cantik banget sih,”

Aku memandang sebal kearah gerombolan anak laki-laki, teman sekelasku. Mereka seperti nggak ada kerjaan, tiap pagi nongkrong di depan kelas dan asyik menggoda cewek-cewek yang berlalu lalang di depan mereka.

“Cantik, sombong banget sih,” ucap Ryan. Ia mencoba menghalangiku masuk ke dalam kelas.

“Senyum dikit kenapa sih cantik?”

“Maaf, aku harus ke kelas,”

“Oh, cantik belum ngerjain Pe-er, yah?” tanya Ryan, diikuti gelak tawa cowok-cowok kurang kerjaan itu. Mereka tertawa, menampilkan deretan gigi mereka yang kuning akibat pengaruh buruk nikotin. Ryan mendekatkan wajahnya kepadaku. Cepat, aku menyingkirkan tubuhnya yang kekar itu. Sia-sia. Ryan dan geng-nya malah puas menertawakan aku.

Setiap hari aku selalu digoda. Di jalan, di sekolah, di warung emak. Semua laki-laki sepertinya tak bosan mengoceh usil untuk menggodaku. Memuji aku cantik, memanggil aku cantik.

“Cantik, selepas lulus SMA ini kamu mau kemana?” tanya Sri saat kami asyik membuat aneka kue kering untuk dijual di warung emak.

“Tak tahulah Sri, sepertinya langsung bekerja saja, emak dan bapak kan tak punya uang untuk membiayaiku kuliah,”

“Kerja apa, cantik? Emang kamu bisa apa?”

“Entahlah aku juga bingung Sri, keahlianku paling cuma bikin kue-kue seperti ini,”

“Ah, itu tak masalah bagimu, kamu kan cantik, pasti gampang dapet kerjaan. Nah aku? Udah jelek, item, pendek lagi, pastilah tak ada majikan yang mau memakai jasaku.”

Aku tertawa.

“Sri-Sri, kamu iri ya sama aku?”

“Ya iyalah, wong kamu cantik, sedangkan aku ndak,” ucapnya sebal.

“Eh cantik, kenapa kamu nggak nyoba jadi artis aja di ibukota. Kamu kan cantik, wajahmu saja sebelas duabelas kayak Nikita Willy. Enak to kalau udah terkenal, duit banyak, fans banyak,” Sri memandangku dengan mata berbinarnya.

“Ndak ah, Sri, mana ada sih produser-produser tv di kota yang tertarik dengan gadis desa udik sepertiku? Mending aku di desa aja Sri, bisa main sama kamu tiap hari,”

Sekarang giliran Sri yang tertawa mendengar jawabanku.

“Memang kamu nggak bosen main sama aku yang jelek ini?”

Aku mengangguk pasti.

“Aku kan teman kamu, Sri,”

***

Mentari pagi menyusup melalui celah jendela kamarku. Aku terbangun menahan silau. Segera kusambar Android terbaruku. Ya ampun, aku kesiangan. Tergopoh-gopoh, Neneng, pembantuku yang paling muda mempersiapkan sarapanku.

“Mana jus pisangku, Neng? Bukannya semalam aku sudah mengingatkan, bangun tidur jus pisang udah tersedia di meja makan!”

“Maaf-maaf, nona, saya kesiangan jadi belum sempat menyiapkan jus untuk nona,” ucap Neneng tanpa berani menatap mataku.

“Dasar pemalas! Satu kali lagi kamu melakukan kesalahan, siap-siap saja kamu packing barang-barangmu dan kembali ke kampung, jadi gadis kampung udik lagi. Mau kamu kayak gitu?”

Pembantu muda itu menggelengkan kepalanya. Ia masih takut untuk memandangku.

“Sudahlah, pergi sana! Aku mau berenang, nanti kalau ada telepon suruh si Benny yang urus,”

“Tapi nona, mas Benny belum bangun,”

“Hah sesiang ini dia belum bangun? Manajer macam apa dia! Aku nggak mau tahu, pokoknya nggak ada yang boleh menganggu acara berenangku, guyur dia sampai bangun kalau perlu!”

Secepat kilat Neneng berlari ke lantai dua tempat dimana Benny memuaskan mimpinya.

Segera kutanggalkan piyamaku, berganti dengan swimsuit sexy yang sangat pas di tubuhku. Seperti sabtu-sabtu yang lain, setiap pagi aku melakukan olah badan. Entah itu dengan treadmill sambil menonton acara gossip, berenang di kolam renang mewah rumahku, atau jogging mengelilingi perumahan elit dimana aku tinggal.

“Hari ini, lu ada jumpa fans di Mall Indonesia,” Benny sibuk mengatur schedule-ku. Aku sibuk dengan korset yang makin hari makin susah aja nempel di pinggang.

“Habis itu ada fashion show, ketemu produser film, dan…”

“Wait! Produser film?” tanyaku kaget bercampur senang. Lipstick merah menyalaku masih asyik bercumbu dengan bibirku yang merekah indah. Ternyata ada job main film lagi, bisa menambah pundi-pundi hartaku nih.

“Iya, ketemu Oom India genit itu loh, yang suka bikin film hantu,” Benny memandangku sebal karena memotong ucapannya.

“Film hantu atau film esek-esek?”

“Ya dua-duanya lah, lu kayak nggak tahu aja selera film sekarang, lu manfaatin tuh body semok lu,”

“Jadi ada adegan gituannya?”

“Yee, mana gue tahu! Itu kan baru dibicarain nanti siang. Tapi ya menurut pengamatan gue sih, bakalan ada. Banyak malah! Soalnya dari judulnya aja nggak nguatin banget,” jawab Benny sewot. Manajerku yang gay ini kenapa sih? Sensi amat hari ini.

“Emang judunya apa?”

“Hantu goyang kolam renang,”

Aku tertawa. Tak adakah judul yang lebih elit dari itu? Tapi tak apalah, yang penting judul itu menjual. Sepertinya film bergenre horror ini akan menjadi awal yang baik buatku. Bermain di film hantu setelah lebih dulu merampungkan film komedi seksual yang berhasil membesarkan namaku.

“Gimana, mau diambil?”

“Ya iyalah, masa’ mau menolak rejeki! Eh gue bagusan pakai yang mana nih, Ben?” kutunjukan dua mini dress berbeda warna, merah maroon dan ungu.

“Yang belahan dadanya panjang lebih bagus,”

***

Hingar bingar suara pub di kawasan malam ibukota memang tak pernah ada matinya. Kupesan segelas martini sebagai teman ngobrolku dengan laki-laki keturunan india mata keranjang ini.

“Gimana, you mau terima tawaran saya? Saya jamin you jadi bintang utamanya,” laki-laki itu tersenyum genit.

“Gimana ya, om… aku sih mau-mau aja asal…” aku melirik nakal kearah laki-laki berusia 35 tahunan itu.

“Maksudmu money? Ah tenang sajalah,”

Kami berdua tertawa. Bersulang dan membiarkan minuman laknat itu membasahi kerongkonganku.

“Kamu cantik sekali malam ini,” desah pria itu tepat di telingaku.

Aku hanya tersenyum. Cuih! Sebenarnya aku benci untuk ngobrol dengannya. Laki-laki itu sama sekali tak ada menariknya di mataku. Yah, cuma karena sekarang dia berperan menjadi ladang uangku, mau tak mau aku menerima tawarannya minum di pub kelas atas ini.

“Om, aku mau ke toilet sebentar ya,”

“Baiklah, jangan lama-lama ya, cantik,”

Sebenarnya izin ke toilet hanya akal-akalanku saja untuk menghindar sejenak dari Oom genit itu. Aku menyelinap ke belakang pub. Mencoba mencari angin segar. Kunyalakan sebatang rokok, kuhisap dan kunikmati setiap kepulan asapnya. Tak seperti biasanya, bulan terlihat di langit Jakarta. Yah, walaupun kecil tapi aku sungguh menikmatinya. Jika melihat bulan aku jadi teringat gadis itu…

“Cantik, ternyata kamu disini! Dicari tuh sama Oom Shankar,” Jodi, pelayan pub yang kebetulan mengenalku menyuruhku untuk segera menemui laki-laki mata mata keranjang itu.

Aku mengangguk, segera kubuang puntung rokok terakhirku.

“Cantik, akhirnya you kembali juga,” si Oom mata keranjang itu menelanjangi mataku.

“Toiletnya penuh, Oom,” jawabku, tentu saja bohong.

“Temani saya minum ya, kali ini saya pesankan yang special buat you,” Oom bernama Shankar itu memberiku segelas Vodka. Minuman mahal, rutukku dalam hati.

“Mari minum,”

Setelah bersulang, kami menenggak habis minuman setan itu.

Tiba-tiba kesadaranku perlahan-lahan mulai menghilang.

“Bangsat, pasti si India gila ini menaruh sesuatu di minumanku,” umpatku dalam hati. Tak sampai sepuluh menit, pandanganku mulai kabur.

Suara hentakan music membuatku semakin kehilangan arah. Aku berubah beringas. Belasan gelas bir berhasil kutenggak habis. Kudengar beberapa pengunjung pub beringsut mendekatiku. Mereka ternyata menikmati aksiku yang kesetanan, menenggak lima belas bir dalam satu malam! Edan!

Aku merasakan tubuhku bergoyang mengikuti alunan musik yang semakin merangsang. Aku berjoget, bergoyang dengan siapa saja, lelaki, perempuan, gay, lesbi semua aku sikat. Beberapa bibir telah berhasil kulumat. Mau bule atau pribumi aku tak peduli. Bahkan si india gila berhasil mencuri tubuhku. Yah, walaupun singkat. Ia menyikat habis bibirku, dengan penuh nafsu ia meremas dadaku, mencumbu wajahku berkali-kali. Aku masih tak peduli. Semua bersorak saat aku menguasai lantai dansa. Malam ini aku benar-benar kesetanan.

“Cukup, mari kita pulang, cantik,” seseorang menggamit lenganku. Menyeretku keluar dari gerombolan setan-setan dunia. Aku muntah tepat di depan pub. Berjalan sempoyongan kesana kemari.

“Aku bisa pulang sendiri,” gumamku.

“Tak mungkin dengan keadaanmu yang kacau seperti ini, malam ini kamu menginap saja di apartemenku, deket kok dari sini,” ucap laki-laki itu. Aku mengamati wajahnya. Dalam keadaan setengah sadarku aku tahu kalau ia laki-laki pribumi.

 “Aku nggak kenal kamu.” ucapku lirih.

“Tenang saja, aku hanya ingin menolongmu keluar dari serigala-serigala malam itu,”

Malam semakin larut. Aku terduduk di jok belakang sebuah mobil, entah dengan siapa. Aku mabuk, aku berantakan, dan aku tidak pulang. Tiba di rumahnya, laki-laki itu membaringkan tubuhku di sofa dan mengunci pintu depan. Ia meninggalkanku sementara di sana untuk mengambilkan selimut.

"Namaku Luddy," dia memperkenalkan diri. Kuterima selimut yang ia ulurkan. "Emm, kamu tak keberatan tidur di sofa, 'kan? Soalnya tak ada kamar lagi." ujarnya.

"Kenapa kita tak tidur bersama di kamarmu?" aku bertanya.

"Ah, aku..." dia bingung harus menjawab apa.

"Ooh, kau takut aku akan menggodamu, ya?"

"Ti-tidak..." pipi Luddy memerah. Dia bangkit dari sofa, berjalan tak teratur, dan tiba-tiba... memelukku dari belakang tanpa kuduga-duga.

"Kalau begitu, biarkan aku tidur bersamamu, Luddy." bisikku lemah, tak sadar dengan apa yang telah kukatakan. Hembusan dan sentuhan nafas laki-laki itu di leherku membuatku merinding.

Luddy melepaskan pelukannya dan mencengkeram erat kedua lenganku. "Ba-baiklah," jawabnya pelan, "Kau boleh tidur seranjang... denganku... malam ini!"

"Sungguh? Lepaskan aku sebentar, Luddy, aku ingin menciummu... mmphh," aku mendekati bibirnya.

Tapi Luddy menghindariku. "Tidak," jawabnya tegas, "Kau boleh tidur denganku asalkan... jangan sentuh tubuhku. Sama sekali!"

"Apa kau gay?" aku bertanya curiga, heran dengan sikapnya yang menolakku. Baru kali ini aku mengalaminya, ada seseorang yang menampik tubuh sintalku.

"Aku cuma ingin menolongmu." Luddy mengacuhkan pertanyaanku. Setelah beberapa kali menepis mulutku yang terus berusaha mencium bibirnya, ia akhirnya menggendongku ke tempat tidurnya. Kemudian ia menutup pintunya dan mengganti gaun malamku dengan kaus hitam biasa dan membaringkan tubuhku di sebelahnya.

"Ingat," tegasnya ketika ia berbalik perlahan menghadapku, "Jangan pernah berusaha menggodaku!"

"Tenang saja, Luddy," jawabku sambil berbalik memunggunginya, "Aku takkan mengambil kesempatan tanpa seizinmu." aku mengatakannya meski kurasakan pipiku sudah menjadi merah padam karena gairah. Sudah menjadi tabiatku, mudah teransang dan hilang kontrol kalau lagi mabuk.

Beberapa menit berlalu tanpa kami saling bicara satu sama lain. Mungkinkah Luddy sudah tertidur?

"Hei, Luddy." aku memanggilnya.

"Ya?" laki-laki itu menyahut, rupanya ia belum tidur.

"Apakah aku seksi?" Sumpah, ini adalah pertanyaan tergila seumur hidupku!

Luddy tidak langsung menjawab, "Hmm," dia tampak berpikir sejenak.

Merasa tak enak, aku buru-buru menambahkan. "Nggak usah dijawab kalau kau keberatan."

"Ah, tidak. Maksudku... Ya, kau seksi, cinta."

Mendengarnya, jantungku berdetak tidak karuan dan semburat merah di kedua pipiku jadi semakin tampak.

Luddy juga kelihatan salah tingkah dengan perkataannya barusan, "Aku... aku tidak bermaksud menjawab seperti itu, tapi… kalau aku boleh jujur, kamu… memang seksi dan menggoda dalam keadaan seperti ini. Terutama suaramu yang jauh beda dengan suara saat kau menyanyi di panggung."

"Oh, benarkah?" aku tersenyum, "Kalau memang benar begitu, mengapa kau tidak berani menyentuhku?" Aku menatapnya lekat-lekat dengan berbaring miring dan melipat tangan kiriku ke belakang kepala sebagai tumpuan.

Luddy gemetar, "I-itu karena... k-kau mengingatkan aku pada… m-mantan pacarku." dia tergagap.

"Hahaha… gombal!" sahutku sambil tertawa.

Dia menoleh dan menatap kesal kedua mataku, "Aku serius. Kalian mirip sekali."

"Mana mungkin ada yang menandingi kecantikanku, Lud, aku kan artis terkenal." sombongku.

"Ini, lihatlah!" dia melempar sebuah foto.

Aku terhenyak, muka kami memang mirip sekali. "L-lalu, dimana dia sekarang." aku bertanya.

Luddy menunduk, "Dia meninggal 1 minggu yang lalu, kecelakaan." Nada bicaranya semakin pelan. Ia meraih sebotol bir yang ada di meja dan menenggaknya sampai habis.

Aku yakin, selama seminggu ini, ia pasti menghabiskan waktunya di bar tadi. Aduh, bagaimana ini? Aku sendiri tak tahu kata-kata yang pantas untuk menghibur lelaki yang sedang patah hati ini. Setelah menghabiskan birnya, Luddy meletakkan botol itu di kolong tempat tidur dan merebahkan dirinya lagi.

"Tenanglah, Lud," aku berusaha bersikap lembut, "Aku memang tidak mengerti sedekat apa hubungan kalian berdua, tetapi aku mengerti bagaimana perasaanmu kepadanya." Aku membelai bahunya, untuk menenangkannya. "Tapi sekarang, meratapi kepergiannya adalah tidak benar. Waktu akan menghapus sedikit demi sedikit rasamu kepadanya. Kau tahu, mungkin kau bisa menemukan yang lebih baik darinya."

Luddy terdiam. Apakah ia mengerti apa yang kukatakan?

"Kamulah orangnya, cinta!" dia bersuara.

"Ma-maksudmu?" aku tetap bertanya meski tahu apa yang dia maksudkan.

"Orang yang lebih baik darinya… Kurasa itu kau, cinta." dia menatap mataku.

Kalau sudah begini, aku harus mengatakan apa lagi coba?  "Ya," jawabku tenang, "Mungkin saja."

"Aku ingin memiliki hatimu, bukan tubuhmu." dia memegang tanganku.

"Kalau tubuh kita terus menjauh, bagaimana mungkin hati kita bisa dekat?" aku menggodanya.

Tak kusangka, setelah kalimatku itu, Luddy langsung menindihku dengan kedua tangannya meraih bulatan payudaraku. Dia meremasnya pelan sambil memberiku seulas senyum tampan yang sangat menggoda.

"Aku ingin bercinta denganmu karena suka sama suka, bukan karena nafsu." bisiknya sambil mengendus leherku yang jenjang.

"Akan kubuktikan kalau aku lebih baik darinya... HMPH!" Luddy melumat bibirku dengan rakus. Aku berusaha membalas, tetapi tidak bisa karena tangannya mencengkeram kepalaku dengan kuat. Perlahan ciuman itu menjadi lembut dan ia mulai menyapu bibirku dengan lidahnya. Kini aku bisa menikmatinya, kuizinkan lidahnya menjelajahi mulutku yang tipis sesukanya.

Setelah cukup lama lidah kami bertaut, ia melepasku. Air liur kami menyatu dan menetes di leherku. Aku terengah-engah dan menghirup oksigen sebanyak-banyaknya untuk mengisi paru-paruku yang kosong.

"Kenapa kau tidak membalas, cinta? Apakah kau pasrah begitu saja menjadi geisha-ku malam ini?"

"Hhh," aku menyeringai kecil, "Geisha itu tidak selalu melayani dengan cara seperti ini."

"Ah, aku tidak tahu," dengan cepat ia kembali menyerang leherku. Mencium, menjilat, menghisapnya sekali-kali. Membuatku tidak tahan! Semua ini... semua yang ia lakukan membuatku...

"Ahhhnn... Luddyyyy..." aku merintih.

Ia tak menghiraukanku dan terus saja melanjutkan hingga sebuah bekas merah muncul di leherku. Setelah puas bermain disana, ia merobek kaus hitamku secara cepat dan meletakkan telinganya di dadaku.

"Wah, jantungmu berdetak kencang, ya. Mungkinkah itu tanda bahwa kau menyukaiku?" ujarnya sambil menghisap pelan puting kiriku, sementara tangannya memainkan putingku yang sebelah kanan.

"Aaahh... Luddy, ge-geli..." aku menggelinjang.

Desahan dan eranganku tak diacuhkannya. Ia bermain semakin lihai dan membuat nafsuku semakin naik. Tangan kanannya yang nganggur bergerak turun ke bawah dan mengusap pelan daging lembut yang ada di selangkanganku.

"Hm, rupanya kau sudah terangsang, ya?" ia memperlihatkan jarinya yang basah kepadaku.

"Sudah... Cukup... Aku tidak..." Aku tahu, percuma saja aku menolaknya malam ini. Itupun kalau aku bisa, karena aku juga menginginkannya. Aku sudah terlalu bernafsu kepadanya hingga rasanya sulit untuk mencegahnya berbuat lebih jauh.

"Jadilah gadisku. Layani aku malam ini." bisik Luddy sambil melepas celananya dan melemparnya begitu saja di lantai. Penisnya yang sudah tegak diperlihatkannya padaku. "Bagaimana, kau menyukainya?" dia bertanya,

"Oh, Lud, besar sekali." aku meraihnya dan mengusap-usapnya pelan. "Aku pasti akan kesakitan nanti." bisikku sambil mulai mengocoknya, keras dan cepat. Aku benar-benar telah tenggelam oleh pesona laki-laki tampan itu.

"Tenanglah, cinta. Aku akan melakukannya dengan hati-hati." dia mendadak mendorong penisnya dan memaksanya masuk  ke dalam rongga mulutku. "Jilat sebentar!" bisiknya.

Aku yang sudah siap, segera menjulurkan lidah dan menelannya. Kukulum penis hitam itu dan kuhisap-hisap dengan penuh nafsu. Sebagai bonus, kadangkala aku juga menggigit-gigitnya lembut.

"Aaaah... nnhhh... cintaaaa." Luddy merintih.

Desahan laki-laki itu semakin membangkitkan gairahku. Aku... aku tak tahan lagi. Tanganku mulai meremas-remas sepasang buah dadaku yang menggantung indah. Di dalam mulut, kurasakan penis Luddy semakin berkedut-kedut kencang. Kurasa, sebentar lagi dia akan selesai.

"Ahh... cinta, aku... kurasa aku akan keluar!" desisnya parau.

Aku tidak peduli. Aku masih terus menghisap dan mengulum kejantanannya, bahkan dengan lebih panas lagi. Sekarang bukan cuma batangnya yang kuemut, kantong zakarnya yang keriput juga kuhisap dan kucium-cium terus. Hingga akhirnya, dengan satu jeritan panjang, Luddy menyemprotkan cairan kenikmatannya ke dalam mulutku.

"AARRGGGGHHHHHHHH...!!!!" tubuhnya yang atletis mengejang-ngejang seiring semprotan spermanya yang memenuhi tenggorokanku.

Aku menyambar minuman ringan di meja. "Ah, aku butuh penetralisir setelah menelan seluruh spermamu yang manis." aku segera menghabiskannya dalam beberapa kali tegukan.

"Cinta, kau begitu..." Luddy memandangku penuh kepuasan.

"Panas? Menggoda? Seksi?" sahutku.

"Bukan. Kau begitu berani. Tidak ada wanita yang mau menelan spermaku selain dirimu." tangannya merambat ke payudaraku dan meremas-remasnya lembut.

Aku tersenyum dan meletakkan botol minuman yang sudah kosong ke atas meja. "Ayo kita mulai babak yang sebenarnya." kubuka kakiku dan kuperlihatkan vaginaku yang sudah sangat basah dan sedikit terbuka kepadanya, "Sudah siap untuk dimasuki." bisikku menggoda.

"Tapi punyaku masih lemas." Luddy memperlihatkan penisnya yang mulai melemas.

"Kau masih punya lidah kan?" aku menuntut pelayanan oral darinya.

laki-laki itu tersenyum. "OK, kalau itu yang kau inginkan." dia pun menunduk dan mulai menjilatinya. Rasanya begitu nikmat dikerjai pada saat nafsu sudah berada di ubun-ubun seperti ini. Gesekan sedikit saja sudah membuat tubuhku bergetar dan merintih tak karuan. Apalagi saat tiga jari Luddy masuk dan mengocok vaginaku, aku makin tak tahan.

"Uhh...!" rasanya cairan vaginaku makin banyak saja yang mengalir keluar.

"Tahan sedikit, cinta," bisik Luddy sambil terus menggerakkan jarinya, bahkan kali ini makin cepat, hingga... "Tunggu sebentar sampai aku..."

"AARRGGGHHHHHHHH!" aku menjerit saat mendadak jari Luddy menghilang dan berganti dengan sesuatu yang lebih besar, lebih kekar dan lebih kasar. Dan dengan tekanan yang kuat, benda itu mulai masuk memenuhi vaginaku.

"Hhnnn... cinta, kau sempit sekali. Jangan bilang kau tidak sering melakukannya." bisik Luddy serak.

Sambil mendesah penuh kenikmatan, aku mengangguk. "Kau orang ketiga yang menikmati tubuhku." Memang jarang aku melakukannya, kecuali dengan orang-orang yang benar-benar kuinginkan.

"Oh, sungguh kah?" Luddy terus mendorong lebih dalam, berusaha mencari pangkal vaginaku yang tak kunjung ia temukan.

"Ahhhnn... cukup, Lud. Goyangkan sekarang! Aku sudah tak tahan!" aku merintih. Gesekan penis Luddy di dinding kemaluanku benar-benar membuatku tak tahan.

"A-aku takkan berhenti... sebelum menemukan G-spotmu." ujar laki-laki itu.

"AKHHHH! Di-di sana. Ya, disana!" Dia benar-benar menemukannya. Ujung penis Luddy menggesek pelan areaku yang paling sensitif itu.

"Iya, aku juga bisa merasakannya." Luddy mengangguk sambil mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur, ia menarik-dorong penisnya agar bisa bergesekan dengan dinding vaginaku yang hangat dan basah.

"Lud," bisikku lirih penuh kenikmatan. "Kalau terus begini, sebentar lagi... aku pasti akan..."

"Sst," Luddy membungkam mulutku dengan ciuman. "Tahan dulu ya, aku ingin keluar bersamamu. Tak apa kan bila kukeluarkan di dalam?"

Aku mengangguk. Luddy terus melanjutkan gerakannya, bahkan kini semakin cepat dan keras. tusukannya juga menjadi semakin dalam hingga beberapa kali hampir mentok menabrak pangkal vaginaku. Kalau sudah begitu, sungguh sangat nikmat sekali rasanya. IAku berusaha agak tenang dengan menggigit pelan bibirku hingga akhirnya kami mencapai klimaks secara bersamaan.

"Aaghhhhhhh... Luddy!" aku memekik saat cairan cinta menyembur dari dalam vaginaku.

"Cintaa...!" Luddy menyambutnya dengan menyemprotkan cairan spermanya yang tidak kalah banyaknya.

Luddy memelukku dan aku memeluknya. Kami berciuman dengan sangat mesranya. Meski tubuh kami lelah tapi dalam hati kami puas. Malam itu, aku tidur berdua dengannya setelah mengulangi permainan itu satu kali lagi.

***

“Cantik, aku tahu kamu pasti bakalan pergi ke ibukota, wajahmu yang cantik itu terlalu berharga untuk kamu simpan di desa kecil kita. aku berharap kelak di kota kamu mendapatkan apa yang kamu cita-citakan, jaga kesucianmu selalu, cantik. Ya, jangan membuat dirimu hina hanya karena nafsu semata, apalagi karena tawaran harta. Jangan pernah kamu tanggalkan hati kecilmu, itu satu-satunya perisai dirimu di sebuah kota yang serba mengedepankan duniawi. Aku disini, selalu berdoa untukmu, cantik. Karena aku temanmu,”

Subuh menjelang. Aku duduk bersimpuh di depan jendela sebuah apartemen mewah. Semburat merah mewarnai langit Jakarta. Ibukota yang terlihat damai di pagi hari. Aku menangis mengenang ucapan Sri, sebelum aku berangkat ke Jakarta. Sebelum aku dibawa tante Mutia, yang mengorbitkanku menjadi artis ibukota. Sri, gadis desa yang lugu itu memberiku sebuah baju putih yang dibungkus dengan tas kresek kumal.

“Khusus buat kamu, aku tulis namamu di depannya, cantik,”

Mobil tante Mutia perlahan membawaku ke sebuah kota bernama Jakarta. Meninggalkan semua kedamaian kampung ini, meninggalkan seorang gadis lugu bernama Sri. Aku menangis. Aku merasa menjadi wanita paling kotor sedunia. Nasihat Sri untuk selalu menjaga kesucianku sebagai wanita kembali terngiang. Bersahut-sahutan antara telinga kanan dan kiri.

Aku pusing.

Cantik!

Cantik!

Cantik!

Cantikcantikcantikcantikcantikcantikcantikcantikcantikcantikcantikcantikcantik!

Tiba-tiba aku merasa benci dengan kata ini. Cantik telah merebut semuanya dariku. Aku benci menjadi cantik! Aku benci dipanggil cantik! Aku benci dipuji cantik!

Ibu, mengapa kamu memberiku nama, Cantik?

END
>

0 Comments